Belajar dari Tempo soal Jurnalisme Konstruktif: Memberi Solusi, Membuang Sensasi

Belajar dari Tempo soal Jurnalisme Konstruktif: Memberi Solusi, Membuang Sensasi
Webinar "Jurnalisme Konstruktif: Memberi Solusi, Membuang Sensasi" oleh Wakil Pemimpin Redaksi Tempo, Bagja Hidayat.

Jurnalisme konstruktif bukan hanya tentang menyampaikan berita positif, tetapi juga tentang memberikan perspektif yang lebih mendalam.

Demikian inti materi yang disampaikan Wakil Pemimpin Redaksi Tempo, Bagja Hidayat, pada sesi webinar bertajuk “Jurnalisme Konstruktif: Memberi Solusi, Membuang Sensasi” kelas Tempo Institute secara daring, Kamis (1/8/2024).

Bagja menyatakan, di masa era digital saat ini, arus informasi mengalir tanpa henti dan sering kali didominasi oleh berita sensasional.

“Banyak media saat ini lebih fokus pada berita yang sensasional dan kontroversial, sehingga mengesampingkan aspek penting yang dapat menghadirkan solusi dan inspirasi bagi masyarakat,” ungkap Bagja Hidayat melalui webinar zoom yang juga diikuti SULBARKINI.com (Kolaborasi Cipta Media Group).

Dia menjelaskan, jurnalisme konstruktif bukan hanya tentang berita positif, tetapi juga tentang memberikan perspektif yang lebih mendalam.

“Misal terjadi kecelakaan di lampu merah, wartawan hanya mengabarkan peristiwa kecelakaan tersebut. Dalam jurnalisme konstruktif, pemberitaan akan menggali apa penyebab kecelakaan itu secara mendalam, apakah karena pengendara yang kurang berhati-hati atau mematuhi aturan lalu lintas, keberadaan lampu merah yang tidak pada tempatnya, dan dari peristiwa kecelakaan itu bisa didapatkan sebuah solusi untuk mencegah kecelakaan berulang,” papar Bagja Hidayat.

Dia menuturkan, jurnalisme konstruktif sebagai respons dunia pers atas bias negatif di kalangan wartawan serta merebaknya informasi bohong di media sosial.

Baca Juga:  Masjid-masjid dengan Arsitektur Unik di Sulbar: Mirip Kakbah hingga Masjid tvOne

Bagja menambahkan, media massa dapat berperan lebih efektif dalam membantu masyarakat menemukan solusi dan mengembalikan kepercayaan publik terhadap media sebagai sumber informasi yang bertanggung jawab, kredibel, dan dapat dipercaya.

“Konsep jurnalisme konstruktif akan diterapkan dalam skala newsroom di Tempo,” kata dia.

Belajar dari Tempo soal Jurnalisme Konstruktif: Memberi Solusi, Membuang Sensasi
Webinar “Jurnalisme Konstruktif: Memberi Solusi, Membuang Sensasi” oleh Wakil Pemimpin Redaksi Tempo, Bagja Hidayat.

Jurnalisme Masa Depan

Sementara itu, Henrik Grunnet dari Constructive Institute dan penasihat senior International Media Support yang berpusat di Denmark saat memberikan pelatihan kepada jurnalis senior Tempo pada Minggu (28/4/2024), mengatakan, jurnalisme konstruktif tengah berkembang di dunia dan diterapkan oleh media-media besar.

Menurut Henrik, merebaknya kabar bohong yang difabrikasi oleh pemain politik untuk meraih kekuasaan mengakibatkan tingkat kepercayaan publik terhadap media runtuh.

Media dianggap sebagai medium penyebaran kabar buruk dan berita bohong yang membuat informasi kredibel terlindas oleh berita viral yang tak relevan dengan kepentingan publik.

Henrik menyebutkan, jurnalisme konstruktif disebut juga jurnalisme masa depan. Ambisi konsep jurnalisme ini adalah berkontribusi pada demokrasi melalui peran kritis dan pengawas media sehingga publik menemukan solusi yang relevan atas pelbagai problem-problem yang mereka hadapi.

Karena itu, ada tiga pilar jurnalisme konstruktif: fokus pada solusi, mengabarkan konteks dan nuansa, serta mempromosikan percakapan demokratis.

Baca Juga:  Pulkam ke Polewali Mandar, Siti KDI-Cici Paramida Hadiri Pengajian di Masjid Nurul Hadiah Mapilli

Pilar fokus pada solusi membuat wartawan tak sekadar mengekspos masalah melalui investigasi, juga menyodorkan solusi yang mungkin bisa dipakai untuk menyelesaikannya.

Pilar kedua menyajikan nuansa mendorong jurnalis melihat masalah dari dua sisi. Sering kali sebuah topik menyajikan area abu-abu. Jurnalisme konstruktif tak melihat sebuah problem secara hitam-putih, baik atau buruk, namun menggali akar masalah sehingga publik mendapatkan konteks yang komplet atas sebuah isu.

Pilar ketiga jurnalisme konstruktif adalah menjadikan berita sebagai arena percakapan publik dengan melibatkan kelompok marginal.

Setiap kelompok masyarakat yang terlibat dalam sebuah masalah atau topik punya ruang yang setara sehingga pembaca mendapatkan ragam perspektif secara luas dan komprehensif.

Karena itu, kata Henrik, jurnalisme konstruktif bukan menyajikan berita positif, namun imparsial dalam melihat sebuah fakta karena para wartawan hendak membawa sebuah topik menjadi percakapan orang banyak.

Sebagai jurnalisme masa depan, kata Henrik, jurnalisme konstruktif telah melampaui berita cepat bahkan berita investigasi.

Sebab, seorang wartawan tak akan bisa menyajikan cerita konstruktif tanpa menginvestigasi masalahnya secara benar dan mendalam. (*/adp)